Sabtu, Juni 13, 2009
0
ARTIKEL TERBARU ULTAH PGRI
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Yang saya hormati…., kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, karena kepada kita semua masih diberi kesempatan, kekuatan, dan insya Allah kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, tugas dan pengabdian kita kepada masyarakat, bangsa, dan negara tercinta. Kita juga bersyukur hari ini, di tempat ini kita dapat menghadiri Peringatan Puncak Hari Guru Nasional Tahun 2007 dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-62.

Di pesawat, kita melihat 2 lambang PGRI kita pakai, terus terang dengan perasaan syukur, bangga dan bahagia. Semoga pelita yang ada di lambang yang terlihat di kanan, kiri ini. Pelita yang ada di dada-dada Saudara menerangi kehidupan bangsa Indonesia, menuntun perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih baik.
Selama 30 tahun dulu saya mengabdi di karier pertama, di lingkungan TNI, 3 tahun saya bertugas sebagai guru, guru militer, 3 tahun sebagai dosen. Saya pernah mengikuti pendidikan PGSLP di Malang. Oleh karena itu, kita semua mencintai profesi guru, kita semua berterima kasih atas segala pengabdian para guru yang mengantarkan kita semua menapaki masa depan menuju cita-cita kita.
Pemimpin hakekatnya juga seorang guru, tidak harus kita menjadi Guru Bangsa, Bapak bangsa atau Ibu bangsa, menjadi guru pun luar biasa mulianya, karena persyaratan menjadi guru sejati amatlah berat. Dalam bahasa Jawa, guru sering dikatakan digugu dan ditiru. Ucapan seorang guru, ucapan seorang pemimpin harus dapat dipercaya, karena benar, faktual, bukan fitnah dan dapat dipertanggungjawabkan. Digugu, diikuti, dipercaya. Ucapan guru, ajakan guru, ajakan pemimpin dilakukan dengan memberi contoh, menjadi contoh, akhirnya diikuti oleh anak didiknya. Jika itu dilakukan pemimpin, diikuti rakyatnya, ditiru.
Seorang guru, pemimpin, apalagi tingkatan yang Guru Bangsa, yang berat bagi kita menuju ke situ, itu lebih lagi persyaratkan untuk berfikir dan berbuat untuk masyrakat dan bangsanya. Lebih mawas diri ketimbang melihat orang lain apalagi dengan kebiasaan, kebahagiaan, menyalahkan, mengkritik secara berlebihan seolah-olah semua mereka salah, berat. Oleh karena itu, mari kita menjadi guru yang baik, pemimpin yang baik, mawas diri, ilmu padi, makin berilmu, makin tunduk.
Pemimpin juga disamping sebagai guru juga murid. Manusia tidak ada yang sempurna. Setiap hari saya, saya yakin pemimpin-pemimpin yang lain melakukan perbaikan diri, menyempurnakan kepribadian kita, memantapkan langkah kita, agar hari esok lebih baik. Saya mengajak semua pemimpin di negeri ini untuk belajar menjadi guru yang baik, sekaligus murid yang baik untuk melakukan hal-hal yang baik pula di hari depan.
Pertanyaannya kalau kita menyayangi guru, kalau kita mencintai guru, apakah kita peduli pada kesejahteraan guru? Jawabannya kita harus peduli, kita harus terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan guru sesuai dengan kemampuan negara, kemampuan anggaran Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. Tetapi pemimpin juga harus adil. Sering saya menerima SMS, menerima telpon, menerima surat, Pak SBY, kami kaum petani tolong diperhatikan, lain kali kami para nelayan jangan dilupakan, kami para buruh tolong diingat, kami para petugas kesehatan di daerah terpencil tolong dipikirkan nasib kami dan sebagainya.
Kita harus adil dengan tetap memprioritaskan kesejahteraan guru. Hadir di sini para Gubernur, Bupati, dan Walikota dan para pemimpin adillah kepada semua yang dipimpin. Bimbinglah mereka, ayomi mereka, majukan mereka, jangan melihat perbedaan, apakah berbeda secara agama, secara suku, secara etnis, secara daerah atau berbeda dalam partai politik. Semua harus disayangi, semua harus dicintai, semua harus dimajukan secara adil. Itulah pemimpin. Jangan kita senang mengkotak-kotakan karena berbeda partai. Di hadapan Allah SWT yang dicatat adalah kebajikan, perilaku yang baik untuk sesama manusia dan perilaku di jalan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini perlu saya sampaikan, karena saya berhadapan dengan para guru yang memiliki sifat yang mulia, yang ingin membangun bangsa dan negara bersama-sama ke depan nanti.
Hadirin yang saya muliakan,
Setiap kita memperingati Hari Guru, saya katakan tadi kita patut bersyukur, kita patut berterima kasih kepada guru yang tulus, yang tulus dan mengingatkan kita untuk terus meningkatkan pendidikan dan peran guru di tanah air kita ini.
Berlayar kita ke Pulau Rupat
Memandang lepas ke Pekanbaru
Bila kita ingin maju dan bermartabat
Mari tingkatkan pendidikan dan peran guru
Pemerintah dengan segala tantangan, dengan segala keterbatasan terus meningkatkan pendidikan. Mengapa? Kita ingin menjadi manusia dan bangsa yang maju dan bermartabat. Kita ingin menjadi bangsa dan manusia yang unggul dan berdaya saing. Kita orang-seorang ingin hidup baik dan kita juga ingin menyumbangkan sesuatu untuk masyarakat kita. Adakah di antara kita yang tidak ingin negaranya maju? Ada? Inginkah kita, bangsa kita menjadi bangsa yang bermartabat? Bangsa yang maju? Bangsa yang menang dalam globalisasi? Jawabanya, mari kita tingkatkan pendidikan kita, kita tingkatkan guru kita. Pemerintah terus meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan guru. Dua-duanya penting, guru kita harus makin profesional, makin berkemampuan dan makin baik kesejahterananya.
Tanggal 2 Desember tahun 2004, Saudara masih ingat di Jakarta, saya canangkan, saya tetapkan guru sebagai profesi. Satu tahun kemudian lahir Undang-Undang, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 dengan kerja keras Mendiknas dan Jajaran DPR dan pihak-pihak lain telah kita undangkan. Sekarang kita ingin segera menata dalam Peraturan Pemerintah tentang guru dan tentang dana pendidikan.
Harapan kita, dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri yang lengkap, maka upaya untuk meningkatkan pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan guru akan dapat kita laksanakan secara lebih efektif. Kemampuan guru ditingkatkan, beasiswa diberikan, sertifikasi dilakukan, sekaligus gaji, tunjangan dan bantuan-bantuan lain untuk komunitas guru.
Saudara-saudara,
Bangsa ini harus terus melangkah ke depan, meskipun ujian, cobaan, dan tantangan yang kita hadapi tidak ringan, berat. Tetapi saya yaki,n apabila pendidikan dalam arti luas digalakkan dan ditingkatkan, arah perjalanan bangsa yang sudah benar ini, insya Allah mencapai tujuan yang kita harapkan bersama.
Pertama, kita harus tahu dalam era globalisasi, persaingan kian keras, persaingan antar bangsa, bahkan persaingan di dalam negeri. Jawabannya, mari kita tingkatkan kemampuan manusia Indonesia. Pengetahuan dan ketrampilan, knowledge and skill. Mari kita tingkatkan keuletan manusia kita, tidak mudah menyerah, gigih, sehingga dalam persaingan itu akan menang.
Yang kedua, tantangan yang kita hadapi adalah taraf hidup dan kesejahteraan rakyat kita sebagian besar belum tinggi, sebagaimana yang kita harapkan. Jawabannya, mari kita berdayakan manusia Indonesia, orang- seorang, komunitas-komunitas agar dalam kemampuan mereka bisa, bukan hanya menggantungkan Pemerintah, mengurangi kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan penghasilan.
Yang ketiga, kita tahu Indonesia kaya akan sumber daya alam, potensinya besar, sumber daya nasionalnya besar, tetapi selama ini belum sungguh kita kembangkan. Kalau begini terus, merugi, kalau begini terus, sayang. Mari kita kembangkan bersama-sama dengan manajemen yang baik seluruh Indonesia dengan menciptakan peluang-peluang untuk mencapai semuanya itu.
Tantangan yang lain, bangsa yang berhasil bangsa yang inovatif, bangsa yang kreatif, sehingga ekonominya makin maju dan akhirnya kesejahteraan rakyatnya pun makin maju. Jawabannya, mari kita bangun keunggulan ini, kreativitas dan inovasi. Lembaga-lembaga pendidikan harus mengembangkan metodologi, agar pelajarnya, siswanya memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, intellectual curiosity, agar mereka tumbuh seperti manusia yang kreatif dan inovatif.
Tantangan yang lain, alhamdulillah kita menikmati demokrasi yang makin baik, kebebasan yang makin luas, hak-hak azasi yang makin dihormati dan makin dilindungi. Tetapi jangan kebebasan ini dijalankan secara absolut, melampaui batasnya tanpa disertai akhlak, tanpa kita patuh pada pranata hukum dan etika. Mari kita bangun sikap mental, perilaku bangsa yang mematuhi hukum dan etika. Ajarkan di sekolah-sekolah sejak dini bagaimana anak-anak kita patuh hukum dan etika.
Tantangan yang lain, bangsa Indonesia akan jaya, kalau bersatu. Bangsa Indonesia akan hancur, kalau kita tidak rukun, tidak harmonis, bermusuhan, terkotak-kotak, padahal kita ini bangsa yang majemuk. Oleh karena itu, mari kita satukan energi, satukan langkah melalui pendidikan bisa dibangun anak-anak kita sejak dini untuk memiliki rasa persaudaraan, harmoni dan persatuan.
Dan yang ketujuh atau yang terakhir, tantangan yang kita hadapi adalah lingkungan atau dunia yang makin banyak kerusakannya, terjadi perubahan iklim, terjadi pemanasan global, mengganggu ketersediaan pangan, air, dan energi. Kalau kita biarkan terus, masa depan bumi akan gelap, keberlanjutan kehidupan manusia akan mengalami krisis. Mari kita sadar, mencegah, merawat lebih baik negeri kita, caranya melalui teknologi, melalui gaya hidup yang ramah terhadap lingkungan, yang hemat terhadap energi dan bahan pangan. Bikin semuanya itu melalui pendidikan sejak dini ditanamkan.
Saya senang tadi menyaksikan semangat satu guru, satu pohon. Saya mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk anak cucu kita, untuk masa depan kita, mari kita bangun budaya menanam, bukan budaya merusak. Tanam yang baik untuk bumi kita, tanam yang baik untuk ekonomi dan kesejahteraan kita, jangan melakukan penebangan-penebangan tanpa tanggung jawab. Hanya dengan itu bumi kita selamat, Indonesia kita selamat.
Saudara-saudara,
Dengan semuanya itu, maka apa yang harus kita lakukan ke depan, pertama, pendidikan harus tetap menjadi prioritas dan kita tingkatkan terus. Saya mengajak semua, mulai dari saya, berlaku untuk saya, para Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Pusat dan Daerah bersatu meningkatkan pendidikan. Meningkatkan kesejahteraan guru, alokasikan anggaran dan sumber daya lain yang pantas sesuai dengan kemampuan, baik negara Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah. Kita juga ingin guru untuk terus dapat ditingkatkan komitmennya, tanggung jawabnya, kemampuannya dan kewajiban negara meningkatkan kesejahteraannya.
Saya meminta Saudara Mendiknas, Menteri Keuangan, Menteri-menteri terkait mengajak PGRI dan komunitas guru yang lain, bersama-sama dengan DPR nanti untuk merumuskan, agar kenaikan anggaran pendidikan disertai dengan peningkatan kesejahteraan guru. Harus kita atur dalam Undang-Undang dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan yang lain, tentu saja kenaikan guru itu cukup signifikan, tidak meninggalkan juga tugas untuk meningkatkan kesejahteraan saudara-saudara kita yang lain, profesi yang lain.
Kepada PGRI, kepada Prof. Dr. Surya yang saya kenal cukup gigih untuk berjuang meningkatkan kesejahteraan guru dan pendidikan, baik dalam kapasitasnya sebagai Ketua PGRI maupun sebagai salah satu unsur Pimpinan di Dewan Perwakilan Daerah, saya mengajak Beliau untuk memberikan saran dan masukan yang tepat dan realistik untuk masa depan yang baik pendidikan dan guru kita. Tidak perlu harus berunjuk rasa, kalau guru senang berunjuk rasa, muridnya bingung, siapa yang ngajar mereka. Tanpa berunjuk rasa pun, kita akan tanggapi dengan baik untuk merumuskan cara-cara yang baik.
Itulah Saudara yang saya sampaikan. Dan yang terakhir, saya mengucapkan selamat, terimalah rasa hormat, rasa bangga saya kepada para tauladan yang tadi menerima tanda-tanda penghargaan, baik para Gubernur, Bupati, Walikota maupun para guru, para kepala sekolah, para pengawas dan para pendidik pendidikan non formal. Kami semua bangga teruslah berbuat baik untuk pendidkan kita, untuk guru kita, untuk bangsa dan negara.
Indah nian Tari Rentak Durian
Luhurnya legenda Kerajaan Guantam
Sungguh mulia para teladan
Membikin cerah dan majunya kehidupan
Menutup pidato saya ini, di pesawat tadi, saya mendapatkan laporan dari Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara tentang apa yang dilakukan untuk menyelesaikan tenaga honorer dari sebagian profesi, apakah guru, guru bantu, guru tidak tetap dan yang lain-lain, tenaga kesehatan, tenaga penyuluh, tenaga teknis, tenaga administrasi dan lain-lain, jumlahnya jutaan kita ingin selesaikan dalam waktu 5 tahun ini. Yang sudah selesai tahun 2007 adalah guru yang berjumlah 351.505 yang statusnya masih bantu, tidak tetap dan lain-lain telah mendapatkan NIP akan kita tuntaskan, yang sisa pada akhir 2007 ini. Tenaga Kesehatan juga selesai 2007, tenaga penyuluh selesai tahun 2007. Yang lain, tenaga teknis dan tenaga administratif, Insya Allah akan kita selesaikan pada tahun 2008 dan tahun 2009, sehingga tuntas sudah selama 5 tahun yang selama ini belum jelas statusnya, kita pastikan statusnya untuk resmi menjadi Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia.
Sekian Saudara-saudara. Terimalah sekali lagi, rasa sayang, rasa bangga kami kepada para guru. Mari kita lanjutkan pengabdian kita, jayalah guru Indonesia, jayalah pendidikan kita untuk masa depan kita bersama.
Proses pendidikan cenderung semakin mengabaikan unsur “mendidik”, demikian dikatakan Prof. Dr. H. Punadji Setyosari, M.Pd, M.Ed saat menyampaikan Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran FIP UM, Kamis (14/5/09) di Aula Utama kampus UM.

pada kesempatan ini, saya menyampaikan pidato pengukuhan dalam suasana sedikit agak galau yang berkenaan dengan kondisi pendidikan kita dewasa ini. Kegalauan ini terkait dengan situasi dan kondisi, sebagaimana kita saksikan dan cermati di lapanganselama ini, berkenaan dengan pelaksanaan proses pendidikan yang berlangsung terutama di sekolah-sekolah. Proses pendidikan cenderung semakin mengabaikan unsur “mendidik” dan pendidikan seolah digantikannya dengan aktivitas yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat “latihan mengasah otak”. Demikian dikatakan Prof. Dr. H. Punadji Setyosari, M.Pd, M.Ed saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Teknologi Pembelajaran pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) dalam judul pidatonya “Pembelajaran Kolaborasi: Landasan untuk Mengembangkan Keterampilan Sosial, Rasa Saling Menghargai dan Tangggung Jawab,” pada tanggal 14 Mei 2009 bertempat di Aula Utama kampus UM.
Aktivitas pendidikan, lanjutnya “Seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik telah diabaikan begitu saja dan ternyata sebagian praktek-praktek pendidikan kita disekolah-sekolah lebih menekankan pada aspek latihan kognitif belaka. Kondisi ini sangat memprihatinkan kita, para pendidik, orang tua dan bahkan masyarakat sendiri, karena kegiatan yang seharusnya menyatukan olah pikir yang merupakan dimensi kognitif, olah rasa merupakan dimensi afektif, dan olah raga adalah dimensi psikomotorik, tidak berjalan secara proporsional dan seimbang.”
Dengan dalih waktu yang sangat tersedia sangat sedikit, jika dibandingkan dengan saratnya materi kurikulum sehingga waktu dan energi guru dihabiskan untuk mencurahkan isi materi yang bersifat kognitif saja. Ditambah lagi, cara-cara guru membelajarkan pebelajar hanya mentransfer pengetahuan begitu saja tanpa memberikan kesempatan secara luas bagi pebelajar untu “mencerna” pengalaman belajarnya. Sangat disayangkan, bahwa dalam proses pendidikan tidak menempatkan pebelajar sebagai fokus utama, tetapi praktek pembelajaran di sekolah-sekolah masih lebih banyak menempatkan guru (pembelajar) sebagai satu-satunya sumber utama belajar. Proses pendidikan semacam ini berarti mengabaikan potensi pebelajar sebagai subjek belajar, yang sesungguhnya hakekat belajar itu tidak lain adalah belajarnya subjek didik (pebelajar), sehingga ia tidak berkembang diri secara optimal.
Lebih parah lagi, para pebelajar yang duduk di kelas-kelas tinggi sebut saja kelas enam (untuk jenjang SD/MI), kelas sembilan (untuk jenjang SMA/MA/SMK) telah “dipaksakan” mengasah otaknya untuk menghadapi ujian akhir. Pada semester akhir biasanya sebagian besar energi, tenaga dan waktu para pebelajara dan guru lebih banyak digunakan atau dicurahkan hanya untuk latihan mengerjakan soal-soal ujian dengan maksud agar mereka (para pebelajar) di kelas akhir dapat lulus ujian. Juga, tidak jarang orang tua harus mengeluarkan kebutuhan ekstra dengan cara “mengirim” putra-putrinya ke tempat-tempat bimbingan belajar demi mengejar kelulusan. Berkaitan dengan tipe aktivitas semacam ini, berarti kita telah menempatkan sekolah hanya pada harapan prestasi akademik tinggi dan penuh suasana kompetisi.
Hal itu baik, dalam konteks apabila sekolah diharapkan memacu prestasi belajar tinggi bagi peserta didiknya secara keseluruhan. Artinya, para pebelajar tumbuh dan berkembang secara wajar dengan prestasi akademik yang baik pula. Sebaliknya, dalam konteks yang lain sebagaimana dikemukakan di depan, kita telah mengabaikan hakekat pendidikan yang sesungguhnya sebagaimana dikemukakan oleh Davies.
Menyinggung tentang seharusnya yang harus dilakukan, Prof. Punadji yang lahir di Malang pada tahun 1959 ini, menjelaskan, “Pembelajaran seharusnya mengintegrasikan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pembelajaran hendaknya memfokuskan pada proses mendidik dan tidk sekedar mentransfer pengetahuan begitu saja. Proses pembelajaran perlu memperhatikan penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerja sama, rasa saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging), rasa tanggungjawab, kejujuran dan rela berkorban dan seterusnya yang saat ini terasa diabaikan dan masih belum memperoleh perhatian besar dalam dunia pendidikan kita.
Kita sebagai anggota suatu masyarakat tergantung kepada orang lain untuk mencapai tujuan hidup bersama, dan tanpa bantuan orang lain kita tidak mampu menunaikan tugas hidup ini dengan baik. Dengan demikian, kita perlu secara bersama-sama, kolaborasi, yang menuntut rasa saling menghargai dan mau berkorban untuk tujuan bersama sekaligus mengembang tanggungjawab secara bersama-sama pula, ujar Prof. Punadji Setyosari. (Zul)

0 komentar:

Posting Komentar