Senin, Juni 06, 2011
0
Tentang tak mudahnya mengetahui kapan sesungguhnya agama Islam masuk di Silungkang dapat pula diikuti keterangan Alim Ulama Silungkang yang disampaikan dalam Konferensi Antar PKS ke II di Silungkang pada bulan Juli 1984. Keterangan Islam di Silungkang antara 1970 – 1984. Sebagai alasan mengapa mereka hanya mampu menguraikan dalam periode itu saja, dikatakan; “sampai pada tahun tersebut kesanggupan jangkauan kami kebelakangnya”1)
Mengapa jangkauan Alim Ulama Silungkang hanya sampai tahun itu, tidak ada keterangan. Apakah telah dicoba menggalinya melalui penelitian (minimal baca buku atau catatan dan sebagainya). Maka sampai kesimpulan demikian, juga tak ada ceritanya. Rasanya jika telah dicoba menggalinya tentunya hasilnya akan lebih baik daripada yang telah dikemukakan dalam makalah tersebut.
Bila berpegang kepada hasil “Seminar Sejarah Masuknya Islam di Minangkabau”2) yang berlangsung di Kota Padang 23-27 Juli 1969, maka agama Islam telah masuk di Minangkabau pada abad pertama Hijriyah atau abad ke 7-8 M.
Menurut seminar diatas berat dugaan bahwa agama Islam masuk ke Minangkabau melalui bagian Timur. Pembawanya adalah para pedagang (yang sekaligus berperan sebagai mubaligh sukarela). Dari bagian Timur inilah agama Islam merayap dengan perlahan-lahan menyusupi masyarakat Minangkabau. Kemudian berkembang pula ke luar Minangkabau seperti ke Malaya, Serawak, Brunai, Sabah, Philipina, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan bagian Timur lainnya.
Kemudian pada abad ke XVI agama Islam berkembang pula dari pantai Barat Sumatera. Sejalan dengan makin ramainya lalu lintas perdagangan, maka lalu lintas penuntutan ilmu pengetahuan agama Islam juga meningkat antara Minangkabau – Aceh – Mekah dan pusat-pusat agama Islam lainnya.
Dari sini pulalah tumbuhnya pusat ilmu pengetahuan agama Islam di Ulakan (Pariaman), dengan Syekhnya yang terkenal Burhanuddin. Beliau seorang Guru dan Mubaligh. Syekh Burhanuddin sering disebut sebagai pembawa Islam yang pertama ke Minangkabau.
Murid-murid Syekh Burhanuddin berdatangan dari segenap penjuru Minangkabau. Sepulangnya dari berguru, umumnya para murid beliau mendirikan pula pusat pendidikan agama di kampung masing-masing. Keadaan ini membawa perkembangan Islam yang pesat di Minangkabau. Syekh Burhanuddin meninggal tahun 1603 M.
Bila benar apa yang disebut orang bahwa Syekh Burhanuddin pembawa Islam pertama ke Minangkabau, berarti Islam baru masuk di Minangkabau pada abad XVI dan bukan pada abad 7 – 8 M, atau abad pertama Hijriyah, seperti yang disampaikan Seminar Sejarah Masuknya Islam di Minangkabau di Kota Padang diatas.
Sementara penulis 3) (mungkin karena berpegangan kepada kesimpulan Seminar di kota Padang itu) mengemukakan bahwa waktu Raja Aditiawarman sampai di Minangkabau (abad ke XVI) terus dinikahkan. Tidak diterangkan apakah Aditiawarman dinikahkan secara Islam atau lain. Hanya disambung dengan kata-kata bahwa dalam Pemerintahan Bunda Kandung telah ada Kadhi di Padang Ganting, Makhudum di Sumanik. Tentu belum akan ada Kadhi di suatu Negara kalau negara itu belum pemerintahan Islam atau sekurang-kurangnya belum banyak penganut Islam.
Alasan penulis diatas (yang meragukan Syekh Burhanuddin sebagai pembawa Islam yang pertama ke Minangkabau) sangat lemah. Karena ia tidak bisa menunjukkan apakah ketika Aditiawarman menikah itu di Pagaruyung yang berkuasa Pemerintahan Bunda Kandung adalah pemerintah dalam Tambo.
Selanjutnya pada tahun 1803 pulang dari tanah suci 3 orang Haji, yang kemudian menjadi pelopor gerakan Paderi. Ketiga Haji tersebut : H. Miskin (Pandai Sikat), H. Abdul Rahman (Piobang) dan H. Mohd. Arif (Lintau).
Seratus tahun kemudian turun pula dari tanah suci bekas murid Syekh Amad Chatib bin Abdul Latif al Minangkabau (Ulama besar bangsa Indonesia di Mekah) 4). Mereka itulah yang membawa gerakan-gerakan baru di Minangkabau. 4 orang diantara murid Syekh Ahmad Chatib tersebut ialah :
  1. Syekh Muhammad Jamil Jembek. Beliaulah yang pertama-tama menyebarkan ilmu falak dan hidab di Minangkabau.
  2. Syekh Muhammad Tyayib dari Tanjung Sungayan. Beliau memberikan pelajaran/pendidikan agama yang berbeda dengan cara-cara lama.
  3. Syekh Abdullah Ahmad yang menerbitkan majalah Almunir di Padang (1911) dan mendirikan Sekolah Um Adabiyah (1912). Beliau ini pulalah yang berdasarkan petunjuk gurunya membatalkan merabittahkan guru ketika permulaan Suluk.
  4. Syekh Abdul Karim Amarullah. Pada tahun 1912 membantu Almunir di Padang. Melalui Almunir beliau menulis yang banyak menggegerkan orang tentang masalah Usholli, talqin mayat, berdiri ketika Maulid Nabi sampai membaca marhaban.
Keempat Syekh ini dalam Terinqat berpegang kepada Syekh Ahmad Chatib5). Meskipun Syekh Ahmad Chatib bermazhab Syafei dan semula dididik dalam alam pikiran Naqsyabandi di daerah asalnya, tetapi setelah memperdalam pengetahuan agamanya dan hukum Islam di Mekah ia sangat mengecam dan menentang praktek tariqat Naqsyabandi itu. Menurut Syekh Ahmad Chatib ke dalam tariqat Naqsyabandi telah masuk dan tidak pernah diamalkan oleh mazhab yang empat, seperti menghadirkan gambar/rupa guru dalam ingatan ketika akan memulai Suluk sebagai perantara dalam doa kepada Tuhan. Beliau mengatakan bahwa perbuatan serupa itu sama saja dengan menyembah berhala yang dilakukan oleh orang musyrik.
Karena rupa guru yang dihadirkan dan berhala-hala yang dibuat oleh manusia sama-sama tak memberikan manfaat dan mudarat kepada manusia.
Penolakan Syekh Ahmad Chatib terhadap praktek Naqsyabandi di Minangkabau diungkapkan dalam buku yang berjudul “Izhhar Zhugal Al-Kadzibin” (menjelaskan kekeliruan para pendusta). Buku tersebut ditulis oleh Ahmad Chatib untuk menjawab pertanyaan muridnya (H. Abdullah Ahmad). Buku tersebut telah sampai di Minangkabau pada tahun 1906.
Catatan Kaki :
  1. Alim Ulama Silungkang : “Perkembangan Islam di Silungkang” (Makalah dalam Konferensi Ke II antar PKS, Juli 1984 di Silungkang).
  2. Moh. Noerman : “Sejarah Kebudayaan Islam”, penerbit Pustaka Sa’adiyah, Bukittinggi, 1971, h. 138.
  3. Idem, h. 129.
  4. Ayah Syekh Akhmad Khatib ialah Abdulatif, berasal dari Koto Padang, bergelar Khatib Nagari. Sedang ibundanya bernama Ilmbak Urai, berasal dari Koto Tuo, Balai Gurah, Kecamatan Ampek Angkek, Camdung Bukittinggi.
  5. Drs. Akhis Nazwar : “Syekh Ahmad Jhatib, Ilmuan Islam dipermulaan abad ini”, penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta 1983, h. 21.
Sumber :
Pelajaran Dari Perjalanan Islam di Silungkang

selain itu juga ada dari berapa situs lain yang saya ambil

Perkenalan pertama Minangkabau dengan Islam, sebagai yang masih diasumsikan, adalah melalui dua jalur yaitu : pertama, pesisir timur Minangkabau
atau Minangkabau Timur antara abad ke-7 dan 8 Masehi, kedua, melalui pesisir barat Minangkabau pada abad ke 16 Masehi

Teori jalur timur didasarkan oleh intensifnya jalur perdagangan melalui sungai-sungai yang mengalir dari gugusan bukit barisan ke selat Malaka yang dapat dilayari oleh pedagang untuk memperoleh komoditi lada dan emas. Bahkan diperkirakan sudah ada pedagang-pedagang Arab muslim yang mencapai wilayah pedalaman ini sejak abad ke 7/8 Masehi (lihat : Mansoer,dkk., 1970 : 44-45). Kegiatan perdagangan ini, diperkirakan, adalah awal terjadinya kontak antara budaya Minangkabau dengan Islam. Kontak budaya ini kemudian lebih intensif pada abad ke 13 pada saat mana munculnya kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kekuatan baru dalam wilayah perdagangan selat Malaka. Pada waktu ini,Samudra Pasai bahkan telah menguasai sebagian wilayah penghasil lada dan emas di Minangkabau Timur.
Sedangkan asumsi masuknya Islam melalui pesisir barat didasari oleh intensifnya kegiatan perdagangan pantai barat Sumatera pada abad ke 16 M sebagai akibat dari kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Pada waktu ini, pengaruh kekuasan Aceh Darussalam (pelanjut kekuasan Pasai) sangat besar, terutama pada wilayah pesisir barat Sumatera. Intensifnya pengembangan Islam pada waktu inilah yang --oleh beberapa penelitian,-dijadikan sebagai dasar analisis bagi awal masuknya Islam di Minangkabau dan menghubungkan dengan nama Syekh Burhanuddin Ulakan yang –oleh beberapa penulis- dianggap sebagai tokoh “pembawa” Islam pertama ke wilayah ini. Syekh Burhanuddin adalah murid Syekh Abdur Rauf Singkil, ulama tarikat Syatariyah Aceh. Syekh Burhanuddin dikenal sebagai pembawa aliran tarikat Syatariyah ke Minangkabau untuk pertama kalinya. Tarikat ini kemudian berkembang di Minangkabau dengan persebaran surau-surau Syatariyah yang didirikan oleh murid-murid Burhanuddin sendiri. Jalur pengembangan tarikat Syatariah yang berawal dari pesisir barat ini --oleh beberapa penulis-- sering dijadikan titik tolak kajian tentang Islam di Minangkabau, termasuk pengembangannya ke wilayah pedalaman.
Perkembangan agama Islam di Minangkabau abad ke 17 -19 sangat diwarnai oleh aktifitas beberapa ordo Sufi. Diantaranya yang dominan adalah Syatariyah dan Naqsyabandiyah. Tarikat Syathariyah, sebagai yang disebutkan terdahulu, telah menyebar melalui surau-surau yang didirikan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin. Di samping Ulakan sendiri, sentra-sentra tarikat inipun kemudian berkembang di pesisir barat Sumatera Barat dan di beberapa wilayah pedalaman Minangkabau.
Perkembangan tarikat Syatariyah di wilayah pedalaman ini, menarik untuk dicermati, karena peran yang dimainkannya dalam melahirkan gagasan-gagasan yang melampaui batas-batas implementasi ajaran sufistik itu sendiri ; suatu perkembangan yang sangat berbeda dengan daerah pesisir barat, dari mana tarikat ini pada awalnya dikembangkan. Para tokoh sufi pedalaman lebih banyak melibatkan diri dengan kehidupan ekonomi masyarakatnya. Keterlibatan mereka inilah yang telah memberi warna tersendiri bagi perkembangan Islam di Minangkabau, bahkan dari sinilah juga, kemudian dalam perkembangannya, telah melahirkan ide-ide pemurnian dan pembaharuan.

Perkembangan aliran sufistik di pedalaman sebagai yang disebutkan, memunculkan asumsi bahwa perkembangan Syatariyah di wilayah pedalaman Minangkabau ternyata melahirkan sintesis-sintesis Islam yang baru sebagai akibat pertemuannya dengan tradisi keislaman yang telah menjadi basis kultural masyarakat di daerah ini, atau mungkin oleh pertemuannya dengan tarikat Naqsyabandiyah, karena tarikat ini juga memperoleh pijakan yang kuat di beberapa daerah pedalaman Minangkabau, bahkan mungkin lebih awal di banding Syathariyah sendiri sebagaimana asumsi yang dikemukakan oleh beberapa penulis (lihat : Dobbin, 1992 :146 ; Azra, 1995 : 291).
Penemuan naskah-naskah keagamaan di Sumatera Barat pada dasa warsa terakhir, menunjukkan kecendrungan beralihnya dominasi jumlah temuan ke wilayah darek (M. Yusuf, 1995), tepatnya bagian timur Sumatera Barat seperti Agam dan 50 Kota. Keadaan ini memberi indikasi baru tentang intensitas pengembangan Islam di Minangkabau melalui jalur perdagangan pesisir timur, karena secara geografis daerah ini lebih dekat dan lebih mudah dijangkau oleh pelayaran dagang di jalur sungai-sungai yang bermuara ke pantai timur Sumatera. Hal yang demikian sekaligus juga akan memperlihatkan satu kemungkinan bagi peran salah satu ordo tarikat (Naqsyabandi) dalam proses perkembangan budaya masyarakat Minangkabau. Kedua indikasi ini paling tidak akan memperkaya temuan tentang jaringan aktifitas intelektual Islam yang selama ini lebih banyak mengungkap tentang besarnya peranan pesisir barat Sumatera dalam penyebaran agama Islam di daerah ini pada tahap awal.
Perkembangan Islam melalui kegiatan sentra-sentra tarikat ini, telah meninggalkan jejaknya melalui naskah-naskah dengan topik-topik yang meliputi hampir semua aspek keislaman. Salah satu kenyataan yang dapat terlihat dari perkembangan sentra-sentra tarikat, baik Syatariyah, maupun Naqsyabandiyah di Minangkabau, ialah praktek pengamalan tasauf dengan menekankan pentingnya syari’ah (Azra, 1995 : 288) dan tidak terdapat indikasi bahwa ajaran tarikat di wilayah ini mengarah pada pantheisme sebagaimana yang terdapat di Aceh pada abad ke 17. Oleh karena itu pemikiran keagamaan yang ditinggalkan oleh kedua aliran tasauf ini tidak hanya berisikan ajaran tasauf semata, akan tetapi meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu keislaman, bahkan upaya pencarian solusi kemasyarakatan dan urusan dunia lainnya memperoleh tempat dalam kajian-kajian mereka, seperti yang dikembangkan oleh Jalaluddin murid Tuanku nan Tuo di wilayah Agam (lihat Very Happyobbin, 1992:151-152).
Keluasan cakupan implementasi ajaran tasauf di Minangkabau sebagai dikemukakan, memang menarik untuk dikaji, karena kemampuan para tokoh tasauf dalam mentranformasikan inti ajarannya terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan, sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan ekonomi, terutama di wilayah agraris pedalaman Minangkabau. Perkembangan Islam di sini -dalam perjalanannya memang di warnai oleh berbagai konflik keagamaan seperti yang terlihat dalam beberapa episode kesejarahan dalam abad ke 19 dan 20 dan hal ini sering dipandang sebagai suatu keniscayaan sejarah yang dapat dipahami pada akar kultural masyarakat Minangkabau sendiri. Akan tetapi, keadaan konflik ini juga, justru sekaligus memiliki potensi memunculkan berbagai praksis kultural dalam dinamika perkembangan masyarakatnya. Konflik keagamaan yang terjadi, baik antara Syathariyah dan Naqsyabandiyah, maupun antara Naqsyabandiyah dengan golongan pembaharu, telah melahirkan dinamika polemik pemikiran keagamaan yang berimplikasi terhadap intensitas kegiatan intelektual yang ditandai banyaknya dihasilkan naskah keagamaan. Naskah mana tentu tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai aspek kehidupan keagamaan di daerah ini.
Latar depan fenomena keagamaan abad ke 19 dan ke 20, di saat mana lahirnya gagasan-gagasan awal pembaharuan Islam di Minangkabau, tidak dapat dilepaskan dari fenomena historis yang terjadi sejak abad ke 16 atau mungkin sejak abad ke 13 seperti yang diasumsikan sebagai awal kontak budaya Islam di wilayah ini. Kontak awal Islam ini, demikian juga proses serta bentuk konversi terhadap Islam pada tahap-tahap awal itu, tentu akan menjadi salah satu determinan yang memberi warna terhadap berbagai karakteristik yang muncul dalam perkembangan historis masyarakat di wilayah ini. Akan tetapi beberapa penjelasan sejarah yang banyak ditulis, sering memandang fenomena tersebut dari perspektif sosial struktural semata, sehingga kenyataan historis Islam itu sendiri luput diperhatikan. Apalagi pula kenyataan sumber-sumber yang terbatas serta paradigma sejarah yang barat sentris, menjadikan beberapa dimensi dari pengalaman historis agama ini menjadi terabaikan.
Gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dimulai ketika Tuanku Nan Tuo bersama murid-muridnya di surau Koto Tuo mengambil peran pemasyarakatan syari’ah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat agraris di wilayah pedalaman pada akhir abad ke-18. Gerakan yang merupakan aksi penataan kehidupan masyarakat dengan norma-norma keislaman pada fase pertama ini berjalan tanpa gesekan-gesekan. Namun pada fase kedua lebih meruncing karena menguatnya resistensi kaum adat. Kalangan adat merasa bahwa otoritas mereka terganggu oleh aksi beberapa kalangan ulama murid Tuanku Nan Tuo yang tidak sabar dalam menjalankan aksi syar’iyyah yang dihadapkan pada praktek-praktek adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pertikaian adat dan agama yang terjadi pada awal abad ke 19 ini, oleh beberapa penulis – terutama penulis asing--, dianggap sebagai aksi radikalisme yang dibawa dari pusat agama Islam sendiri. Berbagai interpretasi atas konflik inipun kemudian menjadi bahasan ‘menarik’ untuk memberikan gambaran “kelabu” seba-gai militansi golongan Islam dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana kita saksikan pada akhir tahun 2007 yang lalu.
Pertikaian adat dan agama yang terjadi di wilayah pedalaman pada paruh pertama abad ke-19 menjadi “jalan masuk” bagi Belanda ke wilayah ini. Belanda, pada waktu sebelumnya hanya dapat menguasai wilayah pesisir karena kuatnya pertahanan wilayah pedalaman di bawah kaum agama, namun dengan politik “belah bambu”, Belanda mencoba memanfaatkan kedekatannya dengan kaum aristokrasi adat untuk secara berangsur-angsur menguasai wilayah-wilayah mereka sambil menekan golongan Islam. Kaum agama yang telah menguasai banyak nagari di wilayah pedalaman berusaha mempertahankan wilayah mereka dari intervensi asing. Ketika tujuan apa yang ada dibalik kerjasama Belanda dengan aristokrasi adat disadari, maka perjuangan kaum agama ini beralih menjadi perlawanan terhadap penjajahan (disebut : Perang Paderi).
Selain itu, gerakan keagamaan yang telah berlangsung pada peralihan abad ke-18 dan ke-19 juga diwarnai dengan konflik keagamaan antara Syathariyah dan Naqsyabandiah. Setelah berakhirnya Perang Paderi 1837, perdebatan internal seputar paham tarikat ini ternyata tidak makin mereda, meski perhatian pada perbedaan pendapat itu teralihkan pada saat menghadapi musuh bersama. Polemik keagamaan ini kembali meruncing dan bahkan berimplikasi terhadap tumbuhnya motivasi sebagian masyarakat untuk berangkat ke Mekkah memperdalam pengetahuan agama Islam sambil menunaikan ibadah Haji. Kontak kedua kalangan ulama Minangkabau dengan Timur Tengah ini telah membawa pemikiran-pemikiran keagamaan yang sangat berpengaruh bagi perubahan-perubahan sosial di Minangkabau pada waktu-waktu berikutnya.
Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, salah seorang putera Minangkabau yang tidak merasa betah dengan kondisi sosial di daerah kelahirannya ini, mencoba untuk menetap di Mekkah dalam rangka mendalami ilmu-ilmu agama. Ketekunan serta tekadnya yang kuat menyebabkan Ahmad Khatib akhirnya mampu berdiri sejajar dengan ulama-ulama Timur Tengah lainnya, bahkan, dialah ulama asing pertama yang mampu menduduki posisi Mufti mazhab Syafi’i di Mekkah. Banyak kalangan ulama Indonesia yang belajar ke pusat Islam ini dikader langsung oleh Ahmad Khatib sendiri. Kepulangan murid-murid Ahmad Khatib ke Indonesia inilah, --menurut banyak kalangan--, telah memberikan kontribusi bagi pembaharuan keagamaan tahap kedua serta tumbuhnya pemikiran kebangsaan yang menjadi pemicu perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia pada awal abad ke-20.
Munculnya generasi baru intelektual Islam Minangkabau pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 ini ternyata mampu menjadi penyeimbang aksi politik etis Belanda yang telah memperluas jalur pendidikan barat bagi masyarakat pribumi. Surau-surau yang menjadi sentra pendidikan anak nagari di Minangkabau memperoleh nafas baru untuk bangkit bersaing dengan sistem pendidikan barat.
Namun, seiring dengan kembalinya generasi baru intelektual Islam yang belajar di Timur Tengah ini ke Minangkabau, tercipta pula sebuah dinamika konflik keagamaan baru yang dipicu oleh munculnya pemikiran baru seputar keterikatan kepada mazhab dan kebolehan berijtihad. Konflik internal kedua ini lebih dikenal dalam sejarah dengan polemik Kaum Tua dan Kaum Muda. Persoalan pertama yang menjadi tema perdebatan kaum ulama ini adalah masalah praktek pengamalan tarikat Naqsyabandiyah yang oleh sebagian ulama pembaharu dianggap banyak yang keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti praktek wasilah yang dianggap tidak sesuai dengan sunnah (Hamka, 1967:79). Persoalan ini kemudian berkembang kepada masalah yang menyangkut kebolehan ijtihad serta perbedaan pendapat tentang masalah-masalah furu’iyyah lainnya.
Ulama-ulama kedua golongan ini pada dasarnya adalah produk Timur Tengah dan hampir semuanya adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy.
Dari konflik yang muncul ini dapat diasumsikan dua hal : pertama : Ahmad Khatib dalam halaqah pengajian yang diberikan kepada murid-muridnya sewaktu belajar di Timur Tengah, tidak atau belum menyentuh persoalan-persoalan yang menyangkut masalah ijtihad, namun ia tidak melarang sekaligus juga tidak menganjurkan murid-muridnya untuk belajar ke Mesir, di mana gagasan awal pembaharuan Islam ini tumbuh dan berkembang. Kedua : Latar belakang kultural masyarakat Minangkabau yang memelihara konflik sebagai sebuah dialektika dalam rangka melahirkan sintesis pemikiran pemikiran yang dinamis dan progresif. Bagi masyarakat Minangkabau, dinamika konflik diperlukan dan dipelihara agar kehidupan itu tidak menjadi statis, dan pengalaman sejarah juga telah mengajarkan bahwa dinamika konflik di Minangkabau tidaklah mengarah pada disintegrasi. Sebaliknya situasi konflik berpotensi dalam melahirkan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa selanjutnya, sebagaimana sejarah masyarakat ini telah membuktikannya. Tokoh pembaharuan keagamaan awal semisal Tuanku Nan Tuo yang alim dan bijaksana sekaligus pedagang ulet berhasil menjadikan hukum Islam sebagai landasan kehidupan masyarakat di pedalaman. Surau Tuanku Nan Tuo banyak melahirkan murid yang alim seperti yang kemudian dikenal dengan Syekh Jalaluddin Faqih Shaghir, atau yang cendikia namun tegas seperti Tuanku nan Renceh, demikian juga murid yang memiliki semangat juang membara semisal Tuanku Imam Bonjol dan banyak yang lainnya. Mereka ini tentulah merupakan produk situasi Minangkabau akhir abad ke 18. Pada akhir abad ke 19 muncul pula tokoh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy, yang juga berasal dari daerah pedalaman. Tokoh ini tak kalah penting dari yang disebut terdahulu ; dari halaqahnya telah muncul ulama-ulama kharismatis dan piawai semisal H.M. Thaib Umar, H. Abdul Karim Amarullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Jamil Jambek. Theher Jalaluddin, dan lain-lainnya.
Pendek kata, situasi Minangkabau dengan keunikan kulturalnya telah melahirkan banyak tokoh intelektual dan pejuang yang responsif terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi di zamannya ; tokoh wanita semisal Rohana Kudus, Siti Manggopoh, Rahmah el-Yunusiyyah, Ratna Sari, dan lain-lain dari kalangan wanita di negeri ini, demikianpun di bidang politik kenegaraan seperti Syahrir, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Natsir, Hamka dan lainnya yang terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Setidaknya sampai zaman kemerdekaan tokoh-tokoh dalam berbagai bidang telah terlahir dari ranah Minang ini.
Dari catatan sejarah setelah kemerdekaan, kita menyaksikan suatu perubahan yang cendrung memperlihatkan gejala penurunan yang drastis yaitu tidak banyaknya muncul tokoh intelektual sebagaimana waktu sebelumnya. Hingga masa akhir Orde Baru, produk intelektual Minangkabau semakin tidak banyak yang mampu mewarnai khazanah pemikiran di negeri ini, gagasan-gagasan segar dari kalangan intelektual, politisi dan ulama tidak lagi menggema di seantero nusantara ini. Demikian juga dalam bidang pendidikan Islam,--setidaknya dalam tiga dasa warsa terakhir--, madrasah-madrasah jelmaan dari surau-surau yang dulunya didatangi oleh murid dari berbagai pelosok tanah air, untuk sebahagian hanya tinggal nama. Banyak madrasah yang sudah kehilangan tokoh kharismatis, akibat mandegnya proses regenerasi dikalangan mereka. Inilah realitas Minangkabau hingga waktu ini.

sumber :http://irhashshamad.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar