“Farah, bangun… udah azan subuh. Sarapanmu udah Ummi siapin di meja…” Tradisi ini sudah berlangsung 26 tahun, sejak pertama kali aku bisa mengingat. Kini usiaku sudah kepala 3 tapi kebiasaan Ummi tak pernah berubah. “Ummi sayang… ga usah repot-repot Ummi, aku dan adik-adikku udah dewasa.” pintaku pada Ummi pada suatu pagi. Wajah tua itu langsung berubah. Pun ketika Ummi mengajakku makan siang di sebuah restoran. Buru-buru kukeluarkan uang dan kubayar semuanya.
Ingin kubalas jasa Ummi selama ini dengan hasil keringatku. Raut sedih itu tak bisa disembunyikan. Kenapa Ummi mudah sekali sedih ? Aku hanya bisa mereka-reka, mungkin sekarang fasenya aku mengalami kesulitan memahami Ummi karena dari sebuah artikel yang kubaca .. orang yang lanjut usia bisa sangat sensitive dan cenderung untuk bersikap kanak-kanak … tapi entahlah…. Niatku ingin membahagiakan malah membuat Ummi sedih. Seperti biasa, Ummi tidak akan pernah mengatakan apa-apa.
Suatu hari kuberanikan diri untuk bertanya “Ummi, maafin aku kalau telah menyakiti perasaan Ummi. Apa yang bikin Ummi sedih ?” Kutatap sudut-sudut mata Ummi, ada genangan air mata di sana. Terbata-bata Ummi berkata, “Tiba-tiba Ummi merasa kalian tidak lagi membutuhkan Ummi. Kalian sudah dewasa, sudah bisa menghidupi diri sendiri. Ummi tidak boleh lagi menyiapkan sarapan untuk kalian, Ummi tidak bisa lagi jajanin kalian. Semua sudah bisa kalian lakukan sendiri” Ah, Ya Allah, ternyata buat seorang Ummi .. bersusah payah melayani putra-putrinya adalah sebuah kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kusadari sebelumnya. Niat membahagiakan bisa jadi malah membuat orang tua menjadi sedih karena kita tidak berusaha untuk saling membuka diri melihat arti kebahagiaan dari sudut pandang masing-masing.
Diam-diam aku bermuhasabah… Apa yang telah kupersembahkan untuk Ummi dalam usiaku sekarang ? Adakah Ummi bahagia dan bangga pada putera putrinya ? Ketika itu kutanya pada Ummi. Ummi menjawab “Banyak sekali nak kebahagiaan yang telah kalian berikan pada Ummi. Kalian tumbuh sehat dan lucu ketika bayi adalah kebahagiaan. Kalian berprestasi di sekolah adalah kebanggaan buat Ummi. Setelah dewasa, kalian berprilaku sebagaimana seharusnya seorang hamba, itu kebahagiaan buat Ummi. Setiap kali binar mata kalian mengisyaratkan kebahagiaan di situlah kebahagiaan orang tua.” Lagi-lagi aku hanya bisa berucap “Ampunkan aku ya Allah kalau selama ini sedikit sekali ketulusan yang kuberikan kepada Ummi. Masih banyak alasan ketika Ummi menginginkan sesuatu.”
Betapa sabarnya Ummiku melalui liku-liku kehidupan. Sebagai seorang wanita karier seharusnya banyak alasan yang bisa dilontarkan Ummiku untuk “cuti” dari pekerjaan rumah atau menyerahkan tugas itu kepada pembantu. Tapi tidak! Ummiku seorang yang idealis, menata keluarga, merawat dan mendidik anak-anak adalah hak prerogatif seorang Ummi yang takkan bisa dilimpahkan kepada siapapun. Pukul 3 dinihari Ummi bangun dan membangunkan kami untuk tahajud. Menunggu subuh Ummi ke dapur menyiapkan sarapan sementara aku dan adik-adik sering tertidur lagi… Ah, maafin kami Ummi … 18 jam sehari sebagai “pekerja” seakan tak pernah membuat Ummi lelah.. Sanggupkah aku ya Allah ?
* * *
“Farah… bangun nak, udah azan subuh .. sarapannya udah Ummi siapin di meja.. “ Kali ini aku lompat segera.. kubuka pintu kamar dan kurangkul Ummi sehangat mungkin, kuciumi pipinya yang mulai keriput, kutatap matanya lekat-lekat dan kuucapkan “terimakasih Ummi, aku beruntung sekali memiliki Ummi yang baik hati, ijinkan aku membahagiakan Ummi… ”. Kulihat binar itu memancarkan kebahagiaan…
Cintaku ini milikmu, Ummi… Aku masih sangat membutuhkanmu… Maafkan aku yang belum bisa menjabarkan arti kebahagiaan buat dirimu..
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar